Soeharto ganti nama Muhammad setelah naik haji
Jakarta - Ketika seorang santri wanita menyarankan agar demonstrasi dukungan kepada ABRI yang berlangsung di halaman Kostrad pada hari-hari pertama pasca-Gestapu (Gerakan 30 September 1965) itu ditutup dengan doa, Soeharto memperlihatkan sikap tidak suka. "Matanya mendelik sebagai ekspresi alergi pada Islam," kata pengamat politik militer Prof Salim Said dalam bukunya, 'Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian'.
Di lain waktu, ketika Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Subchan ZE dalam sebuah rapat di Markas Kostrad berucap 'insyaallah', Soeharto pun memprotesnya. "Mengapa harus pakai insyaallah?" ujarnya dengan nada kesal. Belakangan, Subchan, yang berasal dari kalangan santri di Kudus, Jawa Tengah, berkesimpulan: "Wah, Soeharto ini memang abangan tulen," ujarnya seperti ditulis Salim.
Tak mengherankan bila sikap alerginya terhadap Islam itu diejawantahkan dalam berbagai kebijakan politiknya selama berkuasa kemudian. Ia melarang penggunaan syariat Islam sebagai asas partai politik dan organisasi kemasyarakatan, tak merestui pengenaan jilbab oleh para siswi di sekolah-sekolah negeri, dan represif terhadap para politisi muslim.
Tapi 25 tahun setelah berkuasa, sikapnya perlahan berubah. Ia tak cuma merestui terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang dipimpin BJ Habibie pada 1990, dan mulai melonggarkan pengenaan jilbab di sekolah-sekolah. Pada Juni 1991, Soeharto bahkan mengumumkan dirinya dan keluarga akan menunaikan rukun Islam kelima: naik haji.
Ia mengaku sebetulnya niat pergi haji sudah muncul sejak Pelita I, ketika mulai memimpin Orde Baru. "Tapi belum kesampaian juga sehubungan kehadiran saya di Tanah Air sangat diperlukan untuk memimpin pembangunan," kata Soeharto seperti ditulis sejumlah media pada pertengahan Juni 1991.
Sepintas alasan itu dapat dipahami, mengingat haji memang menyita waktu cukup panjang. Berbeda dengan umrah, yang bisa dilakukan lebih singkat, dan Soeharto telah berkali-kali menunaikannya.
Soeharto bersama Ibu Tien dan sanak keluarga tiba di Jeddah, Arab Saudi, untuk menunaikan haji pada 17 Juni 1991. Meski perjalanan ibadah itu bersifat pribadi tanpa biaya negara, sebagai pemimpin dari negara berpenduduk muslim terbesar, pihak Arab Saudi memberikan pelayanan khusus.
Gubernur Mekah Pangeran Majid bin Abdul Azis, yang mewakili Raja Fahd, menyambut Soeharto dan rombongan. Mereka menginap di Royal Guest House yang disiapkan pihak Kerajaan. Juga dibuat perkemahan khusus selama wukuf di Arafah.
Kegiatan Soeharto diawali perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Setelah itu, dia menjalankan rangkaian haji pada umumnya. Dia mendapat pengawalan dari tentara Kerajaan Arab Saudi, sebagai fasilitas yang disediakan kerajaan bagi kepala negara selama menunaikan ibadah haji.
Di ujung perjalanan haji, Raja Fahd memberikan nama baru untuk Soeharto: Mohammad atau Ahmad, dan Siti Fatimah atau Siti Maryam. Nama yang dipilih kemudian adalah Mohammad dan Siti Fatimah.
Naik hajinya Soeharto kemudian mengubah kebijakan dan konstelasi politik di Tanah Air. Kebijakan Soeharto, yang telanjur dianggap anti-Islam, secara perlahan mulai merangkul masyarakat Islam.
Arnaz Ferial Firman, wartawan Antara yang selama belasan tahun meliput di Istana, antara lain menyebut Soeharto menyokong pembentukan Bank Muamalat, yang menerapkan sistem syariah, juga membangun ratusan masjid di semua provinsi melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
"Pak Harto juga menghajikan para karyawan di lingkungan kepresidenan hingga tukang bakso atau tukang ketoprak yang mencari nafkah di sekitar Jalan Cendana," ujar Arnaz.
Soal keterkaitan haji dan sikap politik Soeharto, Salim kemudian mengutip pendapat Ginanjar Kartasasmita, salah seorang menteri di era Orde Baru. "Soeharto melihat kekuatan Islam politik berkembang dan berpengaruh pada kekuasaan. Untuk hari depan kepentingan politiknya, Soeharto merasa harus berbaikan dengan kekuatan Islam yang sedang bangkit tersebut."
No comments