The Eyes Of Darkness - Koontz, buku yang dirumorkan sebagai sumber konspirasi CoronaVirus
novel ini dirilis pada tahun 1989. Secara keseluruhan novel ini memiliki empat puluh bab dan dikategorikan dalam aliran Thriller.
Novel menuturkan bahwa virus itu berasal dari sebuah kebocoran pada Laboratorium Senjata Biologis dan Kimia yang berlokasi di salah satu pegunungan di Amerika Serikat. Bocoran itu kemudian secara tidak sengaja mengenai seorang peneliti, Li Chen, berkebangsaan Tiongkok. Dikisahkan bahwa peneliti inilah yang 'menyebarkan' virus tersebut kepada orang lain (hal 183). Meskipun kode virusnya berbeda, ada kesamaan di antara keduanya, yaitu, kata WUHAN, sebagai bagian dari nama virus dalam novel dan sebagai tempat penyebaran pertama Covid-19 saat ini. Apakah ini kebetulan belaka? Entahlah!!
Terlepas dari semua 'kontroversi' tersebut, novel ini merangsang pikiran untuk berpetualang dan mengeksplorasi horison imajinasi pembaca tentang banyak hal. Hadir dengan mengkombinasikan topik-topik kontradiktif antara kehidupan dan kematian, kehilangan dan pertemuan, persatuan
dan perceraian, kerinduan dan kebencian.
Pembahasannya pun menyusuri gelanggang perjudian, musik, pertunjukan, mafia, konspirasi, intelijen, pembunuhan, pengorbanan, telekinesis, percintaan, kasih sayang, cinta tak terbatas dan masih banyak lagi. Disajikan dalam konstruksi alur pemikiran yang kompleks, terkadang seram dan menakutkan, namun narasi yang ditawarkan masuk di akal dan enak dibaca.
Ulasan ini tidak sedang menjustifikasi isi novel dengan kemunculan pandemi Covid-19 saat ini. Yang hendak ditawarkan di sini adalah uraian beberapa tema, yang hemat penulis, mungkin mengandung
aspek-aspek epistemologis, pedagogis dan humanis. Barangkali aspek-aspek itulah yang ingin disampaikan penulis novel ini kepada pembacanya.
Novel ini dibuka dengan cerita kematian (kehilangan). Tetapi harus digaris bawahi bahwa kisah tersebut
'bermetamorfosis' di penghujung novel. Kisah kehilangan tersebut diurai pada bab-bab awal novel. Penulis mendeskripsikan secara detail racauan pergulatan batin seorang ibu, Tina Evans, yang mengalami kehilangan putranya semata wayang, Danny (bab 1-8). Dikisahkan bahwa Danny meninggal dunia bersama dengan teman-temannya dalam sebuah kecelakaan bus di acara kemping pramuka.
Kematian sang putera membuat Tina hidup terlantung-lantung dan terombang-ambing. Tidak ada satu detik pun dapat ia lalui tanpa kerinduannya pada Danny. Meski jasad putranya itu sudah hancur
lebur termakan tanah di dalam liang lahat, Danny tetap menjadi putra kesayangannya. Ia yakin Danny masih hidup entah di mana, di suatu tempat nun jauh di sana. Ia bahkan bermimpi bahwa suatu hari ia berjumpa lagi dengan sang buah hati.
Hari-hari dilalui oleh Tina dalam kesedihan dan kesendirian. Suasana semakin mencekam ketika ia harus bergulat seorang diri tanpa Michael, mantan suaminya, yang juga sudah meninggalkannya jauh sebelum kematian Danny.
Bagi Tina, kematian putranya bak terjatuh ditimpa tangga. Beberapa tahun sebelum itu, ia harus kehilangan Michael, suami yang telah hidup bersamanya selama dua belas tahun. Tina berpandangan bahwa ia tidak akan sesedih itu andai saja Michael, orang yang pernah dicintainya itu,
masih bersama dia. Sayang seribu sayang, justru Michael yang sudah lebih dulu
meninggalkan Tina. Hidup Tina menjadi berantakan.
Tina adalah sosok representatif untuk mewakili kita semua yang pernah mengalami sebuah kehilangan. Dalam kehilangan tersebut, kehilangan apa saja, kita ditempatkan di sebuah persimpangan. Di satu sisi kita sungguh-sungguh mengingat dia yang amat kita cintai. Di sisi lain, kita merasa enggan untuk meninggalkan dia yang telah hilang. Tina bukan satu-satunya manusia yang mengalami kehilangan.
Banyak orang berpendapat bahwaia telah memprediksikan kemunculan pandemi Covid-19 yang saat ini melanda semesta. Tuduhan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Ada porsi kecil di dalam novel Koontz yang memang membahas sebuah virus mematikan yang disebut dengan WUHAN-400 (Bab 39).
No comments